Selamat Datang ^^

Hukum Humaniter

1. Pendahuluan
            Hukum perang, atau hukum sengketa bersenjata, memiliki sejarah yang sama tuanya dengan perang itu sendiri yang biasa dulu disebut Hukum Humaniter Internasional. Pada abad ke-18 Jean Jacques Rosseau dalam bukunya The Social Contract mengajarkan bahwa perang harus berlandaskan pada moral. Konsep ini kemudian menjadi landasan bagi Hukum Humaniter Internasional. Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua Negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anak-anak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih maka disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional. Pertikaian bersenjata yang terjadi di wilayah sebuah negara disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional. salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi Jenewa yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Tanpa adanya mekanisme tersebut dalam penegakan hukum maka hukum humaniter akan bersifat lemah dan akan terjadi suatu pelanggaran dan kesalahan.
2. Pengertian Hukum Humaniter
Istilah hukum humaniter istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter:
Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.
Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
Panitia Tetap hukum humaniter, Departemen hukum dan perundang-undangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. Dengan demikian bahwa hukum humaniter merupakan instrument dari ketentuan, asas dan kaedah internasional yang dapat menjamin hak asasi manusia.
Menurut Haryomataram, ia membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu :
1.      Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws);
2.      Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Genewa Laws).
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu hukum Den Haag dan hukum Jenewa. Pada tahun 1982, Pantap Hukum Humaniter Departemen Kehakiman memberi makna hukum humaniter dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah, dan ketentuan hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang sengketa bersenjata, sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1948. Dalam arti luas hukum humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan hukum internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat pribadi seseorang.
Di dalam buku Pengantar Hukum Humaniter, Arlina Permanasari menjelaskan bahwa ruang lingkup hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Menurut Jean Pictet pengertian hukum humaniter dalam arti pengertian yang luas, yaitu bahwa hukum humaniter mencakup baik Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya hukum humaniter hanya menyangkut hukum Jenewa. Sedangkan Starke dan Haryomataram menganut aliran tengah yang menyatakan bahwa hukum humaniter terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Dari aliran-aliran tersebut bahwa hukum humaniter merupakan hukum-hukum yang menjamin akan harkat dan martabat seseorang dan dapat merubah derajat seseorang.

3.    Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagaiperaturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :
  1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
  2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.      Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.
4.    Asas-asas dan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter
Prinsip hukum humaniter pada intinya menghormati manusia seutuhnya, terutama di kala perang. Secara filosofis, demi kepentingan sesama manusia dalam jangka panjang, diharapkan hubungan antarbangsa tetap harmonis. Pendekatan filosofis dengan hukum humaniter mempunyai hubungan yang kuat. Apakah umat manusia/antarnegara selamanya akan perang terus sepanjang masa, malah sampai akhir zaman. Akal sehat tidak dapat menerima, contoh terkait dengan kasus Palestina dan Israel yang suatu saat akan ada solusinya. Pertama, kunci utama pada Amerika Serikat; dan kedua, siapa penguasa di kedua kubu tersebut, apakah kelompok militarists (cinta perang) atau golongan pacifists (cinta damai). Kedua kelompok tersebut sulit bertemu, kata Austin Fagathey.
            Konsep hukum humaniter internasional pada intinya bagaimana agar perang atau sengketa bersenjata yang memang harus ditempuh/dilakukan tetap memerhatikan prinsip-prinsip perikemanusiaan. Ketika prinsip-prinsip tersebut menjadi bagian dari kebijaksanaan umum suatu negara, maka nantinya setelah perang usai, antarlawan dapat berubah menjadi kawan. Dalam hukum humaniter dikenal tiga prinsip utama sebagai berikut :
  1. Prinsip (asas) kepentingan militer (military necessity), yaitu pihak yang berperang dibenarkan menggunakan kekerasan dalam rangka menundukkan lawan, demi tercapainya tujuan dan kemenangan perang.
  2. Prinsip Kesatriaan (chivalry), bahwa di dalam perang kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat yang tidak terhormat dan berbagai cara tipu muslihat dan atau bersifat khianat, tidak diperkenankan.
  3. Prinsip kemanusiaan (humanity), yaitu para pihak dalam perang diharuskan memerhatikan asas perikemanusiaan. Mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan berlebihan yang dapat menimbulkan penderitaan yang tidak perlu.
Asas tersebut diformalkan di dalam Hukum Den Haag (the Hague Rules) dan Hukum Jenewa (the Geneva Rules). Dalam Hukum Den Haag berisi aturan perang dengan 3 prinsip, yaitu pertama, prinsip pembatasan sasaran lawan kedua, prinsip pembatasan sasaran wilayah ketiga, prinsip pembatasan sasaran keadaan. Sedangkan dalam Hukum Jenewa mengandung 2 prinsip, yaitu pertama, ketentuan umum yang terkait dengan kemanusiaan (hak untuk hidup/jaminan fisik dan moral, hak perlakuan sama, hak memperoleh jaminan keamanan) kedua, bantuan terhadap korban perang (netralitas, kewajaran, perlindungan).
Landasan hukum humaniter/perlindungan dalam perang sebagian besar bersumber dari nilai-nilai hak asasi manusia dan terdapat 3 prinsip, yaitu pertama, prinsip setiap manusia mempunyai hak hidup, perlindungan fisik, moral, dan pengembangan kepribadian kedua, prinsip tidak membeda-bedakan sesama manusia, baik dari aspek agama, jenis kelamin, kebangsaan, bahasa, kedudukan sosial, kekayaan, politik, suku dan pandangan hidup ketiga, prinsip keamanan.
5.    Hubungan Hak Asasi Manusia Dengan Hukum Humaniter
Masuk dan dekatnya HAM dengan hukum humaniter terbukti pula dari makna humanitarian (kemanusiaan itu sendiri), sehingga pelanggaran hukum humaniter sama dengan melanggar berat HAM. Dalam Pancasila yang mengenal “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Di titik ini, fokus, gerak, komitmen, kepedulian, semangat, beserta cita-citanya menempatkan manusia pada posisinya sebagai makhluk utama Tuhan yang memiliki hak utama dalam wujud hak asasi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya istilah human, humanitarian, dan humanitarism.
Menurut J. Pictet, human terkait dengan manusia yang mempunyai konotasi dengan orang yang bersikap baik (tahu tata krama) dalam mengadakan hubungan dengan orang lain. Semua tindakan dikatakan baik, bilamana dilandasi dengan kejujuran, kegunaan, kebaikan serta kejelasan. Humanity terkait dengan perasaan atau sikap mental seorang yang ditunjukkan (dibawakan) oleh yang bersangkutan sebagai seorang human atau a sentiment of active goodness towards mankind. Dan humanitarian merupakan penggambaran setiap orang. Dalam kaitannya dengan humanitarian law, humanitarian diartikan (secara filosofis) sebagai human yang menjamin perlakuan hormat terhadap setiap individu. Sedangkan humanitarism merupakan ajaran sosial/moral bersifat universal yang bertujuan baik kepada sesama umat manusia.
Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab menyebarkan penerangan mengenai hukum humaniter internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut.
Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak menyinggung masalah hak asasi manusia, tetapi tidak berarti bahwa konvensi-konvensi Jenewa dan hak asasi manusia tidak memilki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung.
Dalam kepustakaan ada tiga aliran yang berkaitan dengan hubungan hokum humaniter internasional, yaitu :
  1. Aliran Integrasionis
Aliran integrasionis berpendapat bahwa system hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
  1. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia. Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula.
  2. Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkan setelah hukum humaniter internasional.
  1. Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada :
a.       Obyeknya, hukum humaniter internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya di dalam negara tersebut.
b.      Sifatnya hukum humaniter internasional bersifat mandatory a political serta peremptory.
c.       Saat berlakunya, hukum humaniter internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai.
  1. Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris yang melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain, yaitu :
a.       Dalam pelaksanaan dan penegakan :
Hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negara pelindung (protecting power). Sebaliknya hukum hak asasi manusia sudah mempunyai aparat- mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negara-negara Eropa saja, yaitu diatur dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia
b.      Dalam hal sifat pencegahan :
Hukum humaniter internasional dalam hal kaitannya dengan pencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum hak asasi manusia secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.
6.    Kesimpulan
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian bersenjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum humaniter adalah Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan.
Prinsip hukum humaniter pada intinya menghormati manusia seutuhnya, terutama di kala perang. Secara filosofis, demi kepentingan sesama manusia dalam jangka panjang, diharapkan hubungan antarbangsa tetap harmonis. Pendekatan filosofis dengan hukum humaniter mempunyai hubungan yang kuat. Hukum Humaniter dan hak Asasi Manusia merupakan dua bidang yang dekat hubungannya. Beberapa perbedaan dan persamaan antara keduanya dapat diidentifikasi. Jadi, apabila hukum humaniter lebih dikembangkan lagi maka stabilitas dunia internasional akan menjadi dunia yang damai.

DAFTAR PUSTAKA

v  Evandri, Taufani Sukmana. HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik: Dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat. Ciawi-Bogor Selatan: Penerbit Ghalia Indonesia. November 2007.
v  Permanasari, Arlina. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe Of The Red Cross. Desember 1999.